HUKUM ZINAH
Perbuatan zina diharamkan dalam syari’at islam,
termasuk dosa besar, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
1. Firman Allah Subhanahu wa Ta'alal : "Dan
janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji. Dan suatu jalan yang buruk". [al-Isrâ/17:32]
2. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Dan
orang-orang yang tidak menyembah ilah yang lain beserta Allah dan tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang
benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia
mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya
pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan
terhina". [al-Furqân/25: 68-69]
Dalam hadits, Nabi juga mengharamkan zina
seperti yang diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ûd Radhiyallahu 'anhu, beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:
سَأَلْتُ
رَسُوْلَ
اللَّهِ
: أَيُّ
الذَّنْبِ
أَعْظَمُ
؟،
قَالَ:
أَنْ
تَجْعَلَ
للَِّهِ
نِداً
وَهُوَ
خَلَقَكَ
،
قُلْتُ:ثُمَّ
أَيُّ
؟
قَالَ:
أَنْ
تَقْتُلَ
وَلَدَكَ
خَشْيَةَ
أَنْ
يَطْعَمَ
مَعَكَ
،
قُلْتُ:ثُمَّ
أَيُّ
؟
قَالَ:
أَنْ
تُزَانِيَ
حَلِيْلَةَ
جَارِكَ
"Aku telah bertanya kepada Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam : Dosa apakah yang paling besar ? Beliau menjawab
: Engkau menjadikan tandingan atau sekutu bagi Allah , padahal Allah Azza wa
Jalla telah menciptakanmu. Aku bertanya lagi : “Kemudian apa?” Beliau menjawab:
Membunuh anakmu karena takut dia akan makan bersamamu.” Aku bertanya lagi :
Kemudian apa ? Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab lagi: Kamu berzina
dengan istri tetanggamu".[4,5]
Sejak dahulu hingga sekarang, kaum muslimin
sepakat bahwa perbuatan zina itu haran. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullaht
berkata : Saya tidak tahu ada dosa yang lebih besar dari zina (selain)
pembunuhan.[6]
HUKUMAN PEZINA.
Pelaku zina ada yang berstatus telah menikah
(al-Muhshân) dan ada pula yang belum menikah (al-Bikr). Keduanya memiliki
hukuman berbeda.
Hukuman pezina diawal Islam berupa kurungan bagi
yang telah menikah dan ucapan kasar dan penghinaan kepada pezina yang belum
menikah (al-Bikr). Allah Azza wa Jalla berfirman : " Dan (terhadap) para
wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di
antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka
menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. Dan
terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji di antara kamu, maka berilah
hukuman kepada keduanya, kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri,
maka biarkanlah mereka. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang". [an-Nisâ`/ 4:15-16]
Kemudian sanksi itu diganti dengan rajam
(dilempar batu) bagi yang telah menikah (al-Muhshân) dan dicambuk seratus kali
bagi yang belum menikah (al-Bikr) dan ditambah pengasingan setahun.
a. Pezina al-Muhshân
Pezina yang pernah menikah (al-Muhshân) dihukum
rajam (dilempar dengan batu) sampai mati. Hukuman ini berdasarkan al-Qur`an,
hadits mutawatir dan ijma’ kaum muslimin[7]. Ayat yang menjelaskan tentang
hukuman rajam dalam al-Qur`an meski telah dihapus lafadznya namun hukumnya
masih tetap diberlakukan. Umar bin Khatthab Radhiyallahu 'anh menjelaskan dalam
khuthbahnya :
إِنَّ
اللهَ
أَنْزَلَ
عَلَى
نَبِيِّهِ
الْقُرْآنَ
وَكَانَ
فِيْمَا
أُنْزِلَ
عَلَيْهِ
آيَةُ
الرَّجْمِ
فَقَرَأْنَاهَا
وَوَعَيْنَاهَا
وَعَقَلْنَاهَا
وَرَجَمَ
رَسُوْلُ
اللهِ
صلى
الله
عليه
وسلم
وَرَجَمْنَا
بَعْدَهُ
وَ
أَخْشَى
إِنْ
طَالَ
بِالنَّاسِ
زَمَانٌ
أَنْ
يَقُوْلُوْا
: لاَ
نَجِدُ
الرَّجْمَ
فِيْ
كِتَابِ
الله
فَيَضِلُّوْا
بِتَرْكِ
فَرِيْضَةٍ
أَنْزَلَهَا
اللهُ
وَ
ِإِنَّ
الرَّجْمَ
حَقٌّ
ثَابِتٌ
فِيْ
كِتَابِ
اللهِ
عَلَى
مَنْ
زَنَا
إِذَا
أَحْصَنَ
إِذَا
قَامَتِ
الْبَيِّنَةُ
أَوْ
كَانَ
الْحَبَل
أَوْ
الإِعْتِرَاف.
"Sesungguhnya Allah telah menurunkan
al-Qur`an kepada NabiNya dan diantara yang diturunkan kepada beliau adalah ayat
Rajam. Kami telah membaca, memahami dan mengetahui ayat itu. Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam telah melaksanakan hukuman rajam dan kamipun telah
melaksanakannya setelah beliau. Aku khawatir apabila zaman telah berlalu lama,
akan ada orang-orang yang mengatakan: “Kami tidak mendapatkan hukuman rajam
dalam kitab Allah!” sehingga mereka sesat lantaran meninggalkan kewajiban yang
Allah Azza wa Jalla telah turunkan. Sungguh (hukuman) rajam adalah benar dan
ada dalam kitab Allah untuk orang yang berzina apabila telah pernah menikah
(al-Muhshân), bila telah terbukti dengan pesaksian atau kehamilan atau
pengakuan sendiri". [8]
Ini adalah persaksian khalifah Umar bin
al-Khatthâb Radhiyallahu 'anhu diatas mimbar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam yang dihadiri para sahabat sementara itu tidak ada seorangpun yang
mengingkarinya [9]. Sedangkan lafadz ayat rajam tersebut diriwayatkan dalam
Sunan Ibnu Mâjah berbuny :
وَالشَّيْخُ
وَالشَّيْخَةُ
إِذَا
زَنَيَا
فَارْجُمُوْهُمَا
الْبَتَهْ
نَكَلاً
مِنَ
اللهِ
وَ
اللهُ
عَزِيْزٌ
حَكِيْمٌ
"Syaikh lelaki dan perempuan apabila
keduanya berzina maka rajamlah keduanya sebagai balasan dari Allah Subhanahu wa
Ta'ala dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana [10].
Sedangkan dasar hukuman rajam yang berasal dari
sunnah, maka ada riwayat mutawatir dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam baik perkataan maupun perbuatan yang menerangkan bahwa beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah merajam pezina yang al-Muhshân (ats-Tsaib
al-Zâni)[11]
Ibnu al-Mundzir rahimahullah menyatakan: Para
ulama telah berijma’ (sepakat) bahwa orang yang dihukum rajam, terus menerus
dilempari batu sampai mati.[12]
Ibnu Qudâmah rahimahullah menyatakan: Kewajiban
merajam pezina al-muhshân baik lelaki atau perempuan adalah pendapat seluruh
para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama-ulama setelah mereka
diseluruh negeri islam dan kami tidak mengetahui ada khilaf (perbedaan pendapat
diantara para ulama) kecuali kaum Khawarij [13].
Meski demikian, hukuman rajam ini masih saja
diingkari oleh orang-orang Khawarij dan sebagian cendikiawan modern padahal
mereka tidak memiliki hujjah dan hanya mengikuti hawa nafsu serta nekat
menyelisihi dalil-dalil syar’i dan ijma’ kaum muslimin. Wallahul musta’an.
Hukuman rajam khusus diperuntukkan bagi pezina
al-muhshân (yang sudah menikah dengan sah-red) karena ia telah menikah dan tahu
cara menjaga kehormatannya dari kemaluan yang haram dan dia tidak butuh dengan
kemaluan yang diharamkan itu. Juga ia sendiri dapat melindungi dirinya dari
ancaman hukuman zina. Dengan demikian, udzurnya (alasan yang sesuai syara’)
terbantahkan dari semua sisi . dan dia telah mendapatkan kenikmatan sempurna.
Orang yang telah mendapatkan kenikmatan sempuna (lalu masih berbuat kriminal)
maka kejahatannya (jinayahnya) lebih keji, sehingga ia berhak mendapatkan
tambahan siksaan[15].
Syarat al-Muhshân.
Rajam tidak diwajibkan kecuali atas orang yang
dihukumi al-Muhshân. Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa seorang
dihukumi sebagai al-Muhshaan apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Pernah melakukan jima’ (hubungan seksual)
langsung di kemaluan. Dengan demikian, orang yang telah melakukan aqad
pernikahan namun belum melakukan jima’ , belum dianggap sebagai al-Muhshân.
2. Hubungan seksual (jima’) tersebut dilakukan
berdasarkan pernikahan sah atau kepemilikan budak bukan hubungan diluar nikah
3. Pernikahannya tersebut adalah pernikahan yang
sah.
4. Pelaku zina adalah orang yang baligh dan
berakal.
5. Pelaku zina merdeka bukan budak belian.
Dengan demikian seorang dikatakan al-Muhshân,
apabila kriteria diatas sudah terpenuhi.[16]
b. Pezina Yang Tidak al-Muhshân
Pelaku perbuatan zina yang belum memenuhi
kriteria al-muhshân, maka hukumannya adalah dicambuk sebanyak seratus kali. Ini
adalah kesepakatan para ulama berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
"Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka deralah (cambuklah) tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali
dera (cambuk)". [An-Nûr/24:2]
Al-Wazîr rahimahullah menyatakan : “Para ulama
sepakat bahwa pasangan yang belum al-muhshân dan merdeka (bukan budak-red),
apabila mereka berzina maka keduanya dicambuk (dera), masing-masing seratus
kali.
Hukuman mati (dengan dirajam-red) diringankan
buat mereka menjadi hukuman cambuk karena ada udzur (alasan syar’i-red)
sehingga darahnya masih dijaga. Mereka dibuat jera dengan disakiti seluruh
tubuhnya dengan cambukan. Kemudian ditambah dengan diasingkan selama setahun
menurut pendapat yang rajah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam :
خُذُوْا
عَنِّيْ
،
خُذُوْا
عَنِّيْ
،
قَدْ
جَعَلَ
اللَّهُ
لَهُنَّ
سَبِيْلاً
،
الْبِكْرُ
بِالْبِكْرِ
جِلْدُ
مِائَةٍ
وَتَغْرِيْبُ
عَامٍ
.
"Ambillah dariku! ambillah dariku! Sungguh
Allah telah menjadikan bagi mereka jalan, yang belum al-muhshaan dikenakan
seratus dera dan diasingkan setahun." [HR Muslim].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menyatakan : “Apabila tidak muhshân , maka dicambuk seratus kali, berdasarkan
al-Qur`an dan diasingkan setahun dengan dasar sunnah Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. [17].
KEKHUSUSAN HUKUMAN PEZINA.
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberikan tiga
karakteristik khusus bagi hukuman zina :
1. Hukuman yang keras, yaitu rajam untuk
al-Muhshân dan itu adalah hukuman mati yang paling mengenaskan dan sakitnya
menyeluruh keseluruh badan. Juga cambukan bagi yang belum al-muhshân merupakan
siksaan terhadap seluruh badan ditambah dengan pengasingan yang merupakan
siksaan batin.
2. Manusia dilarang merasa tidak tega dan
kasihan terhadap pezina
3. Allah memerintahkan pelaksanaan hukuman ini
dihadiri sekelompok kaum mukminin. Ini demi kemaslahatan hukuman dan lebih
membuat jera.
Hal ini disampaikan Allah Subhanahu wa Ta'ala
dalam firmanNya: "Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka
deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika
kamu beriman kepada Allah, dan hari akherat, dan hendaklah (pelaksanaan)
hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman"
[an-Nûr/24:2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar