BENTUK MARAH YANG
TERPUJI
Dalam kehidupan ini,
terkadang manusia mengalami ketidaksabaran dan kemarahan. Terutama pada saat
seseorang merasa ada gangguan yang menimpanya. Atau ketika ingin membalas
gangguan yang telah menimpanya. Baik berkaitan dengan hati, badan, harta,
kehormatan, atau lainnya.
Dan kemarahan itu sering menimbulkan
perkara-perkara negatif, berupa perkataan maupun perbuatan yang haram.
Tetapi sesungguhnya tidaklah semua kemarahan itu
tercela, bahkan ada yang terpuji.
MARAH YANG TERCELA
Seseorang yang marah karena perkara-perkara
dunia, maka kemarahan seperti ini tercela. [1]
Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam menasihati seseorang dengan berulang-ulang supaya tidak marah.
عَنْ
أَبِي
هُرَيْرَةَ
رَضِي
اللَّهُ
عَنْهُ
أَنَّ
رَجُلًا
قَالَ
لِلنَّبِيِّ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
أَوْصِنِي
قَالَ
لَا
تَغْضَبْ
فَرَدَّدَ
مِرَارًا
قَالَ
لَا
تَغْضَبْ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa
seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,“Berilah
wasiat kepadaku.” Nabi menjawab,“Janganlah engkau marah.” Laki-laki tadi
mengulangi perkataannya berulang kali, beliau (tetap) bersabda,“Janganlah
engkau marah.” [HR Bukhari no. 6116]
Maka jika seseorang ditimpa kemarahan, jangan
sampai kemarahan itu menguasai dirinya. Karena jika telah dikuasai oleh
kemarahan, maka kemarahan itu bisa menjadi pengendali yang akan memerintah dan
melarang kepada dirinya!
Janganlah melampiaskan kemarahan. Karena
kemarahan itu sering menyeret kepada perkara yang haram. Seperti : mencaci,
menghina, menuduh, berkata keji, dan perkataan haram lainnya. Atau memukul,
menendang, membunuh, dan perbuatan lainnya.
Tetapi hendaklah mengendalikan diri dan emosinya
agar tidak melampiaskan kemarahan, sehingga keburukan kemarahan itu akan
hilang. Bahkan kemarahan akan segera reda dan hilang. Seolah-olah tadi tidak
marah. Sifat seperti inilah yang dipuji oleh Allah dan Rasul Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَسَارِعُوا
إِلَى
مَغْفِرَةٍ
مِّن
رَّبِّكُمْ
وَجَنَّةٍ
عَرْضُهَا
السَّمَاوَاتُ
وَاْلأَرْضُ
أُعِدَّتْ
لِلْمُتَّقِينَ
الَّذِينَ
يُنفِقُونَ
فِي
السَّرَّآءِ
وَالضَّرَّآءِ
وَالْكَاظِمِينَ
الْغَيْظَ
وَالْعَافِينَ
عَنِ
النَّاسِ
وَاللهُ
يُحِبُّ
الْمُحْسِنِينَ
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu
dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk
orang-orang yang bertaqwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya),
baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.
[Ali Imran : 133-134]
Juga firmanNya,
فَمَآأُوتِيتُم
مِّن
شَىْءٍ
فَمَتَاعُ
الْحَيَاةِ
الدُّنْيَا
وَمَاعِندَ
اللهِ
خَيْرٌ
وَأَبْقَى
لِلَّذِينَ
ءَامَنُوا
وَعَلَى
رَبِّهِمْ
يَتَوَكَّلُونَ
وَالَّذِينَ
يَجْتَنِبُونَ
كَبَآئِرَ
اْلإِثْمِ
وَالْفَوَاحِشَ
وَإِذَا
مَاغَضِبُوا
هُمْ
يَغْفِرُونَ
Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu
adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan
lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Rabb mereka, mereka
bertawakkal dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi ma'af. [Asy
Syura : 36-37].
Demikian juga orang yang mampu mengendalikan
emosinya itu dipuji oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
dijanjikan dengan bidadari surga.
عَنْ
عَبْدِ
اللَّهِ
بْنِ
مَسْعُودٍ
قَالَ
قَالَ
رَسُولُ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
… فَمَا
تَعُدُّونَ
الصُّرَعَةَ
فِيكُمْ
قَالَ
قُلْنَا
الَّذِي
لَا
يَصْرَعُهُ
الرِّجَالُ
قَالَ
لَيْسَ
بِذَلِكَ
وَلَكِنَّهُ
الَّذِي
يَمْلِكُ
نَفْسَهُ
عِنْدَ
الْغَضَبِ
Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,“Siapakah yang kamu anggap
sebagai shura’ah (orang kuat, jago gulat, orang yang banyak membanting orang
lain)?” Kami menjawab,“Seseorang yang tidak dapat dijatuhkan oleh orang lain.”
Beliau bersabda,“Bukan itu, tetapi shura’ah yaitu orang yang dapat menguasai
dirinya ketika marah.” [HR Muslim no. 2608].
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga
bersabda,
مَنْ
كَظَمَ
غَيْظًا
وَهُوَ
قَادِرٌ
عَلَى
أَنْ
يُنْفِذَهُ
دَعَاهُ
اللَّهُ
عَزَّ
وَجَلَّ
عَلَى
رُءُوسِ
الْخَلَائِقِ
يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
حَتَّى
يُخَيِّرَهُ
اللَّهُ
مِنَ
الْحُورِ
الْعِينِ
مَا
شَاءَ
Barangsiapa menahan kemarahan, padahal mampu
melampiaskannya, niscaya pada hari kiamat Allah ‘Azza Wa Jalla akan
memanggilnya di hadapan seluruh makhluk, sehingga Allah memberinya hak memilih
di antara bidadari surga yang dia kehendaki. [2]
Untuk mengatasi kemarahan yang menimpa
seseorang, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan
resep-resep pengendaliannya. Dapat kami sebutkan secara ringkas. [3]
Pertama : Mengucapkan ta’awudz (mohon
perlindungan kepada Allah dari gangguan syaithan).
Kedua : Diam, tidak berbicara.
Ketiga. : Jika dia berdiri, hendaklah duduk.
Jika belum reda, hendaklah berbaring.
Syaikh Muhammad Nadhim Sulthan berkata,
“Kemarahan tercela adalah kemarahan pada selain al haq, tetapi mengikuti hawa
nafsu, dan seorang hamba yang melewati batas dengan perkataannya, dengan
mencela, menuduh, dan menyakiti saudara-saudaranya dengan kalimat-kalimat
menyakitkan. Sebagaimana dia melewati batas dalam kemarahannya dengan
perbuatannya, lalu memukul dan merusak harta-benda orang lain.” [4]
Jika kita telah mengetahui hal ini, maka marilah
menengok bersama terhadap panutan dan tauladan kita, Nabi Muhammad Shallallahu
'alaihi wa sallam. Bahwa Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki
kesabaran luar biasa yang layak untuk kita contoh. Perhatikanlah perkataan Anas
bin Malik di bawah ini.
عَنْ
ثَابِتٍ
يَقُولُ
حَدَّثَنَا
أَنَسٌ
رَضِي
اللَّهُ
عَنْهُ
قَالَ
خَدَمْتُ
النَّبِيَّ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
عَشْرَ
سِنِينَ
فَمَا
قَالَ
لِي
أُفٍّ
وَلَا
لِمَ
صَنَعْتَ
وَلَا
أَلَّا
صَنَعْتَ
Dari Tsabit, dia berkata, Anas Radhiyallahu
'anhu bercerita kepada kami, dia berkata, “Aku menjadi pembantu Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam selama sepuluh tahun, beliau tidak pernah berkata
kepadaku,’huh’. Juga tidak pernah mengatakan kepadaku (ketika aku melakukan
sesuatu),’Kenapa engkau melakukan?’ Dan tidak pernah mengatakan kepadaku
(ketika aku tidak melakukan sesuatu),’Tidakkah engkau melakukan?’.” [5].
MARAH YANG TERPUJI
Marah yang terpuji adalah kemarahan karena
Allah, karena al haq, dan untuk membela agamaNya. Khususnya ketika
perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar. [6]
Imam Ibnu Rajab Al Hambali t berkata, “Kewajiban
atas seorang mukmin (yaitu) agar syahwatnya (kesenangannya) terbatas untuk
mencari apa yang dibolehkan oleh Allah baginya. Hendaklah meraih syahwat yang
dibolehkan tersebut dengan niat yang baik, sehingga mendapatkan pahala. Dan
hendaknya kemarahan seorang mukmin itu untuk menolak gangguan dalam agama yang
menimpanya atau menimpa orang lain dan untuk menghukum orang-orang yang
bermaksiat kepada Allah dan RasulNya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
قَاتِلُوهُمْ
يُعَذِّبْهُمُ
اللهُ
بِأَيْدِيكُمْ
وَيُخْزِهِمْ
وَيَنصُرْكُمْ
عَلَيْهِمْ
وَيَشْفِ
صُدُورَ
قَوْمٍ
مُّؤْمِنِينَ
وَيُذْهِبَ
غَيْظَ
قُلُوبِهِمْ
Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa
mereka dengan (perantaraan) tangan-tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka
dan menolong kamu terhadap mereka, serta melegakan hati orang-orang yang
beriman, dan menghilangkan panas hati orang-orang mu'min. [At Taubah : 14-15].”
[7]
Jika kita telah mengetahui hal di atas, maka
hendaklah kita tahu bahwa begitulah keadaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Yaitu beliau tidaklah membalas dengan hukuman untuk (membela) dirinya, tetapi
beliau membalas dengan hukuman jika perkara-perkara yang diharamkan Allah
dilanggar.
عَنْ
عَائِشَةَ
رَضِي
اللَّهُ
عَنْهَا
أَنَّهَا
قَالَتْ
مَا
خُيِّرَ
رَسُولُ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
بَيْنَ
أَمْرَيْنِ
قَطُّ
إِلَّا
أَخَذَ
أَيْسَرَهُمَا
مَا
لَمْ
يَكُنْ
إِثْمًا
فَإِنْ
كَانَ
إِثْمًا
كَانَ
أَبْعَدَ
النَّاسِ
مِنْهُ
وَمَا
انْتَقَمَ
رَسُولُ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
لِنَفْسِهِ
فِي
شَيْءٍ
قَطُّ
إِلَّا
أَنْ
تُنْتَهَكَ
حُرْمَةُ
اللَّهِ
فَيَنْتَقِمَ
بِهَا
لِلَّهِ
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia
berkata,“Tidaklah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam disuruh memilih di
antara dua perkara sama sekali, kecuali beliau memilih yang paling mudah di
antara keduanya, selama hal itu bukan merupakan dosa. Jika hal itu merupakan
dosa, maka beliau adalah manusia yang paling jauh dari dosa. Dan tidaklah
beliau membalas dengan hukuman untuk (membela) dirinya di dalam sesuatu sama
sekali. Kecuali jika perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar, maka
beliau akan membalas dengan hukuman terhadap perkara itu karena Allah.” [8]
Demikian juga beliau tidak pernah memukul
pembantu atau seseorang, kecuali jika berjihad di jalan Allah.
عَنْ
عَائِشَةَ
قَالَتْ
مَا
ضَرَبَ
رَسُولُ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
شَيْئًا
قَطُّ
بِيَدِهِ
وَلَا
امْرَأَةً
وَلَا
خَادِمًا
إِلَّا
أَنْ
يُجَاهِدَ
فِي
سَبِيلِ
اللَّهِ
وَمَا
نِيلَ
مِنْهُ
شَيْءٌ
قَطُّ
فَيَنْتَقِمَ
مِنْ
صَاحِبِهِ
إِلَّا
أَنْ
يُنْتَهَكَ
شَيْءٌ
مِنْ
مَحَارِمِ
اللَّهِ
فَيَنْتَقِمَ
لِلَّهِ
عَزَّ
وَجَلَّ
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia
berkata,“Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah sama sekali
memukul sesuatu dengan tangannya, juga tidak pernah memukul wanita (istri), dan
tidak pernah memukul seorang pembantu. Beliau memukul jika berjihad di jalan
Allah. Dan tidaklah beliau disakiti dengan sesuatu sama sekali, lalu beliau
membalas terhadap pelakunya. Kecuali jika ada sesuatu di antara perkara-perkara
yang diharamkan Allah dilanggar, maka beliau akan membalas dengan hukuman
karena Allah ‘Azza Wa Jalla.” [9]
‘Aisyah Radhiyallahu anha pernah ditanya tentang
akhlak Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia menjawab, “Aklhak
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Al-Qur’an” [10].
Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata,
“Yang dimaksudkan oleh ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha yaitu, bahwa beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam beradab dengan adab-adab Al Qur’an dan berakhlak
dengan akhlak-akhlak Al Qur’an. Apa saja yang dipuji oleh Al Qur’an, maka
itulah yang beliau ridhai (sukai). Dan apa saja yang dicela oleh Al Qur’an,
maka itulah yang beliau murkai.” [11]
Jika melihat atau mendengar apa yang dimurkai
Allah, maka beliau n marah karenanya, beliau berbicara tentangnya, beliau tidak
diam!
Di antara sebagian sikap beliau tentang hal
tersebut, ialah :
‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata.
قَدِمَ
رَسُولُ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
مِنْ
سَفَرٍ
وَقَدْ
سَتَرْتُ
بِقِرَامٍ
لِي
عَلَى
سَهْوَةٍ
لِي
فِيهَا
تَمَاثِيلُ
فَلَمَّا
رَآهُ
رَسُولُ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
هَتَكَهُ
وَقَالَ
أَشَدُّ
النَّاسِ
عَذَابًا
يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
الَّذِينَ
يُضَاهُونَ
بِخَلْقِ
اللَّهِ
قَالَتْ
فَجَعَلْنَاهُ
وِسَادَةً
أَوْ
وِسَادَتَيْنِ
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang
dari safar (bepergian), sedangkan aku telah menutupkan sebuah tirai pada sebuah
rak. Pada tirai itu terdapat gambar-gambar. [12]. Maka setelah beliau
melihatnya, lalu mencabut tirai tersebut dan bersabda,“Manusia yang paling
keras siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menyamai (menandingi)
ciptaan Allah.” [13] ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata,“Maka tirai itu kami
jadikan sebuah bantal atau dua bantal.” [14].
Abu Mas’ud Al Anshari Radhiyallahu anhu berkata,
جَاءَ
رَجُلٌ
إِلَى
رَسُولِ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
فَقَالَ
إِنِّي
لَأَتَأَخَّرُ
عَنْ
صَلَاةِ
الصُّبْحِ
مِنْ
أَجْلِ
فُلَانٍ
مِمَّا
يُطِيلُ
بِنَا
فَمَا
رَأَيْتُ
النَّبِيَّ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
غَضِبَ
فِي
مَوْعِظَةٍ
قَطُّ
أَشَدَّ
مِمَّا
غَضِبَ
يَوْمَئِذٍ
فَقَالَ
يَا
أَيُّهَا
النَّاسُ
إِنَّ
مِنْكُمْ
مُنَفِّرِينَ
فَأَيُّكُمْ
أَمَّ
النَّاسَ
فَلْيُوجِزْ
فَإِنَّ
مِنْ
وَرَائِهِ
الْكَبِيرَ
وَالضَّعِيفَ
وَذَا
الْحَاجَةِ
Seorang lelaki menghadap Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam lalu berkata,“Sesungguhnya aku memperlambat shalat Shubuh
disebabkan oleh Si Fulan (imam shalat) yang memanjangkan shalat dengan kami.”
Maka tidaklah aku melihat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam marah dalam
memberikan nasihat sama sekali yang lebih hebat dari kemarahan beliau pada hari
itu. Lantas beliau bersabda, “Wahai manusia, sesungguhnya di antara kamu itu
ada orang-orang yang membikin manusia lari (dari agama)! Siapa saja di antara
kamu yang mengimami orang banyak, maka hendaklah dia meringkaskan. [15]. Karena
sesungguhnya di belakangnya [16], ada orang yang sudah tua, orang yang lemah,
dan orang yang memiliki keperluan.” [17]
Abdullah bin Umar berkata,
أَنَّ
رَسُولَ
اللَّهِ
صَلَّى
اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
رَأَى
بُصَاقًا
فِي
جِدَارِ
الْقِبْلَةِ
فَحَكَّهُ
ثُمَّ
أَقْبَلَ
عَلَى
النَّاسِ
فَقَالَ
إِذَا
كَانَ
أَحَدُكُمْ
يُصَلِّي
فَلَا
يَبْصُقُ
قِبَلَ
وَجْهِهِ
فَإِنَّ
اللَّهَ
قِبَلَ
وَجْهِهِ
إِذَا
صَلَّى
Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
melihat ludah pada dinding kiblat (masjid), lalu beliau membuangnya, kemudian
menghadap kepada orang-orang dan bersabda,“Jika salah seorang di antara kamu
sedang shalat, maka janganlah meludah ke arah wajahnya, karena sesungguhnya
Alah di arah wajahnya jika dia sedang shalat.” [18].
Demikianlah, bahwa marah merupakan tabi’at jiwa
manusia. Sehingga tidaklah tercela ataupun terpuji, kecuali dilihat dari sisi
dampak dan niatnya. Wallahu a’lam bishshawwab
. PAKAIAN YANG MESTI PANTAS ENGKAU
PAKAI
Syarat kelima: tidak boleh menyerupai pakaian
pria atau pakaian non muslim.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata,
لَعَنَ
النَّبِىُّ
- صلى
الله
عليه
وسلم
- الْمُخَنَّثِينَ
مِنَ
الرِّجَالِ
،
وَالْمُتَرَجِّلاَتِ
مِنَ
النِّسَاءِ
“Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupai
kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria.” (HR. Bukhari no. 6834)
Sungguh meremukkan hati kita, bagaimana kaum
wanita masa kini berbondong-bondong merampas sekian banyak jenis pakaian pria.
Hampir tidak ada jenis pakaian pria satu pun kecuali wanita bebas-bebas saja
memakainya, sehingga terkadang seseorang tak mampu membedakan lagi, mana yang
pria dan wanita dikarenakan mengenakan celana panjang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ
تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ
فَهُوَ
مِنْهُمْ
”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka
dia termasuk bagian dari mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam
Iqtidho’ mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Betapa sedih hati ini melihat kaum hawa sekarang
ini begitu antusias menggandrungi mode-mode busana barat baik melalui majalah,
televisi, dan foto-foto tata rias para artis dan bintang film. Laa haula walaa
quwwata illa billah.
Syarat keenam: bukan pakaian untuk mencari
ketenaran atau popularitas (baca: pakaian syuhroh).
Dari Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ
لَبِسَ
ثَوْبَ
شُهْرَةٍ
فِى
الدُّنْيَا
أَلْبَسَهُ
اللَّهُ
ثَوْبَ
مَذَلَّةٍ
يَوْمَ
الْقِيَامَةِ
ثُمَّ
أَلْهَبَ
فِيهِ
نَارًا
“Barangsiapa mengenakan pakaian syuhroh di
dunia, niscaya Allah akan mengenakan pakaian kehinaan padanya pada hari kiamat,
kemudian membakarnya dengan api neraka.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Syaikh
Al Albani mengatakan hadits inihasan)
Pakaian syuhroh di sini bisa bentuknya adalah
pakaian yang paling mewah atau pakaian yang paling kere atau kumuhsehingga
terlihat sebagai orang yang zuhud. Kadang pula maksud pakaian syuhroh adalah
pakaian yang berbeda dengan pakaian yang biasa dipakai di negeri tersebut dan
tidak digunakan di zaman itu. Semua pakaian syuhroh seperti ini terlarang.
Syarat ketujuh: pakaian tersebut terbebas dari
salib.
Dari Diqroh Ummu Abdirrahman bin Udzainah, dia
berkata,
كُنَّا
نَطُوفُ
بِالْبَيْتِ
مَعَ
أُمِّ
الْمُؤْمِنِينَ
فَرَأَتْ
عَلَى
امْرَأَةٍ
بُرْداً
فِيهِ
تَصْلِيبٌ
فَقَالَتْ
أُمُّ
الْمُؤْمِنِينَ
اطْرَحِيهِ
اطْرَحِيهِ
فَإِنَّ
رَسُولَ
اللَّهِ
-صلى
الله
عليه
وسلم-
كَانَ
إِذَا
رَأَى
نَحْوَ
هَذَا
قَضَبَهُ
“Dulu kami pernah berthowaf di Ka’bah bersama
Ummul Mukminin (Aisyah), lalu beliau melihat wanita yang mengenakan burdah yang
terdapat salib. Ummul Mukminin lantas mengatakan, “Lepaskanlah salib tersebut.
Lepaskanlah salib tersebut. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika melihat semacam itu, beliau menghilangkannya.” (HR. Ahmad. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Ibnu Muflih dalam Al Adabusy Syar’iyyah
mengatakan, “Salib di pakaian dan lainnya adalah sesuatu yang terlarang. Ibnu
Hamdan memaksudkan bahwa hukumnya haram.”
Syarat kedelapan: pakaian tersebut tidak
terdapat gambar makhluk bernyawa (manusia dan hewan).
Gambar makhluk juga termasuk perhiasan. Jadi,
hal ini sudah termasuk dalam larangan bertabaruj sebagaimana yang disebutkan
dalam syarat kedua di atas. Ada pula dalil lain yang mendukung hal ini.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki rumahku, lalu di sana ada kain
yang tertutup gambar (makhluk bernyawa yang memiliki ruh, pen). Tatkala Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau langsung merubah warnanya dan
menyobeknya. Setelah itu beliau bersabda,
إِنَّ
أَشَدَّ
النَّاسِ
عَذَابًا
يَوْمَ
القِيَامَةِ
الذِّيْنَ
يُشَبِّهُوْنَ
ِبخَلْقِ
اللهِ
”Sesungguhnya manusia yang paling keras
siksaannya pada hari kiamat adalah yang menyerupakan ciptaan Allah.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan ini adalah lafazhnya. Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, An Nasa’i dan Ahmad)
Syarat kesembilan: pakaian tersebut berasal dari
bahan yang suci dan halal.
Syarat kesepuluh: pakaian tersebut bukan pakaian
kesombongan.
Syarat kesebelas: pakaian tersebut bukan pakaian
pemborosan .
Syarat keduabelas: bukan pakaian yang mencocoki
pakaian ahlu bid’ah. Seperti mengharuskan memakai pakaian hitam ketika mendapat
musibah sebagaimana yang dilakukan oleh Syi’ah Rofidhoh pada wanita mereka
ketika berada di bulan Muharram. Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa
pengharusan seperti ini adalah syi’ar batil yang tidak ada landasannya.
Inilah penjelasan ringkas mengenai syarat-syarat
jilbab. Jika pembaca ingin melihat penjelasan selengkapnya, silakan lihat kitab
Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani. Kitab ini sudah diterjemahkan dengan judul ‘Jilbab Wanita Muslimah’.
Juga bisa dilengkapi lagi dengan kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah yang
ditulis oleh Syaikh Amru Abdul Mun’im yang melengkapi pembahasan Syaikh Al
Albani.
Terakhir, kami nasehatkan kepada kaum pria untuk
memperingatkan istri, anggota keluarga atau saudaranya mengeanai masalah
pakaian ini. Sungguh kita selaku kaum pria sering lalai dari hal ini. Semoga
ayat ini dapat menjadi nasehatkan bagi kita semua.
يَا
أَيُّهَا
الَّذِينَ
آَمَنُوا
قُوا
أَنْفُسَكُمْ
وَأَهْلِيكُمْ
نَارًا
وَقُودُهَا
النَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ
عَلَيْهَا
مَلَائِكَةٌ
غِلَاظٌ
شِدَادٌ
لَا
يَعْصُونَ
اللَّهَ
مَا
أَمَرَهُمْ
وَيَفْعَلُونَ
مَا
يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai
Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)
Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua
dalam mematuhi setiap perintah-Nya dan menjauhi setiap larangan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar